Tuesday 9 February 2010

Serial Pemikir Ali Syari’ati (4)


//media.us.macmillan.com)
             DR Ali Syariati (http://media.us.macmillan.com)

PELAJARAN apa yang saya petik dari pengalaman menunaikan ibadah haji? Pertama-tama sebaiknya kita bertanya tentang apa arti haji. Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukan tentang ‘penciptaan’, ’sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.

Demikian ungkap cendekiawan muslim terkemuka Iran, DR Ali Syariati pada halaman pembukaan buku karyanya Hajj (The Pilgrimage) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Zahra menjadi Makna Haji.

Goresan pena Syariati pada pembukaan buku yang telah saya kutip di atas dilanjutkan dengan ilustrasi yang menarik. Kata Ali Syariati, “Allah (Tuhan) adalah sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya meliputi Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukannya adalah Masjid al-Haram, daerah Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina. Simbol-simbol yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahari terbenam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make up-nya adalah ihram, halgh dan taqshir (mencukur sebagian rambut kepala). Yang terakhir dari peran-peran dalam ‘pertunjukan’ ini adalah hanya seseorang, yakni dirimu sendiri.

Akhir Area Suci Kota Mekah (scan by dwiki)
Akhir Area Suci Kota Mekah (scan by dwiki)

Ditandaskan pula oleh Syariati bahwa tidak peduli apakah engkau seorang laki-laki atau perempuan, muda atau tua, kulit hitam atau kulit putih, engkau adalah aktor utama dalam pergelaran ini. Engkau berperan sebagai Adam, Ibrahim dan Hajar dalam konfrontasi antara ‘Allah dengan setan’. Konsekuensinya, engkau adalah pahlawan dari pertunjukan ini.

Tentang buku Hajj itu sendiri, Ali Syariati memang mengungkapkan bukan sebuah buku tentang ‘jurisprudensi religius’ melainkan sekedar risalah yang mengajak pembacanya untuk berpikir.

Haji dalam pemahaman Syariati merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.
Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.

Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal. Syariati mencontohkan, dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pakaian ihram, menurutnya, melambangkan pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. “Tak dapat disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dengan lainnya,” tulis Syariati.

Menurutnya, pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.

Cover Buku Makna Haji (dwiki scan)
Cover Buku Makna Haji (dwiki scan)

Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. “Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa,” tandas Syariati
Selanjutnya, Ka’bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail.

Ali Syariati, melalui ketajaman analisanya, mengajak kita untuk menyelami makna haji. Menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh makna, bukan yang hampa tak bermakna. Diajaknya kita untuk memahami haji sebagi langkah maju “pembebasan diri”, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati. 

Melalui uraiannya yang khas dan membangkitkan semangat, kita diberitahu siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya. 

Penulis buku ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih!

Tidak kalah dahsyat pula, pandangan Ali Syariati mengenai pilar-pilar doktrin Islam dalam pengantar buku Hajj ini. Ia mengatakan, “Sejauh yang saya ketahui, dari sudut pandang praktis dan konseptual, pilar-pilar doktrin Islam terpenting yang memotivasi bangsa Muslim dan menjadikannya sadar, bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial adalah: tauhid, jihad, dan haji.”
Sebuah buku menarik dan merangsang pikiran yang layak anda baca!

00*****00
//persia1.wordpress.com)
DR Ali Syariati (http://persia1.wordpress.com)

Tentang Riwayat Hidup Ali Syariati dan Karya-karyanya (Klik Sini).
Dwiki Setiyawan, Kompasianer pengagum Ali Syariati.

Serial Pemikir Ali Syari’ati (3)

Sumber: dunia pelajar islam
 
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya, namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis, sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.

Ali Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.


Kehidupan Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.


Guru pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya seperti tradisi leluhurnya.Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya.Di masa kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.


Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya banalisa tentang kelas social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.

Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.


Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran, istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona, anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.

Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.

ISLAM AGAMA PEMBEBASAN

Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).


Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.


Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata "politik" berasal dari bahasa Yunani "polis" (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah "siyasah", yang secara harfiyah berarti "menjinakkan seokor kuda liar,", suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.


Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:


" Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:


" Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" .


Ali Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.


Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka saya ada.''. .


Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini kemudian mengalami "penjinakan" di tangan kelas atas – penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas "Islam" versi penguasa. Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai "pemenang" (pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.


Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi, Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan.Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara.


Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, "Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah".


Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.

Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.


Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan.


Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.


Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.


Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindasan).


Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).


Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya melawan "orang-orang yang serakah". Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta.


Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm (bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.


Kritik terhadap Syari’ati

Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.

Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.


Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.






DAFTAR PUSTAKA




The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294


Ekky Malaky, Ali Syari’ati ; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern. (TERAJU;Jakarta, 2004)


Ali Rahnema, "Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:Erlangga, 2002)


Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)


Muhammad Nafis, "Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami "Kemelut" Tokoh Pemberontak", dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)


Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Mizan, Bandung, 1985)


Robert D. Lee, "Ali Shari’ati", dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)


Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)


Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000)


Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III

Serial Pemikir Ali Syari'ati (2)

Ali Shariati
Ali Shariati (bahasa Persia: علی شريعتی‎) Dr Ali Shariati (19331977) adalah seorang sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya dalam bidang sosiologi agama.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Biografi

Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah suburban dari Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.

Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan adn memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.

Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.

Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.

Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.

Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Shariati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian
Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam

[sunting] Buku-buku dan ceraman-ceramah Shariati yang terpenting

  1. The Pilgrimage (Hajj) (Haji)
  2. Where Shall We Begin? (Di Mana Kita Harus Mulai?)
  3. Mission of a Free Thinker (Misi Seorang Pemikir Bebas)
  4. The Free Man and Freedom of the Man (Manusia Bebas dan Kebebasan Manusia)
  5. Extracton and Refrinement of Cultural Resources (Penggalian dan Peningkatan Sumber-sumber Budaya)
  6. Martyrdom (Mati Syahid) (buku)
  7. Arise and Bear Witness (Bangkit dan Bersaksilah)
  8. An approach to Understanding Islam (Suatu Pendekatan untuk Memahami Islam)
  9. A Visage of Prophet Muhammad (Gambaran tentang Nabi Muhammad)
  10. A Glance of Tomorrow's History (Sekilas tentang Sejarah Masa Depan)
  11. Reflections of Humanity (Refleksi tentang Umat Manusia)
  12. A Manifestation of Self-Reconstruction and Reformation (Manifestasi tentang Rekonstruksi dan Pembaruan Diri)
  13. Selection and/or Election (Seleksi dan/atau Pemilihan)
  14. Norouz, Declaration of Iranian's Livelihood, Eternity (Norouz, Deklarasi tentang Kehidupan Iran, Kekekalan)
  15. Expectations from the Muslim Woman (Tuntutan-tuntutan terhadap Perempuan Muslim)
  16. Horr (Pertempuran Karbala)
  17. Abu-Dahr
  18. Islamology (Islamologi)
  19. Red Shi'ism vs. Black Shi'ism (Syiah Merah vs. Syiah Hitam)
  20. Jihad and Shahadat (Jihad dan Syahadat)
  21. Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of Oppressed People (Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas)
  22. A Message to the Enlightened Thinkers (Pesan kepada Para Pemikir yang Tercerahkan)
  23. Art Awaiting the Saviour (Seni Sedang Menantikan Juruselamat)
  24. Fatemeh is Fatemeh (Fatemeh adalah Fatemeh)
  25. The Philosophy of Supplication (Filsafat Syafaat)

[sunting] Karya

  • An Islamic Utopian: A Political Biography of Ali Shari'Ati. Ali Rahnema ISBN 1-86064-118-0

[sunting] Lihat pula

[sunting] Pranala luar

Serial Pemikir ALI SYARI'ATI (1)

Sumber: titikbalic


Judul buku : Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual

Revolusioner
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman

ALI Syari'ati adalah sebuah nama yang tak asing lagi bagi kebanyakan kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia. Kemasyhurannya bisa disandingkan dengan tokoh-tokoh Republik Islam Iran lainnya, seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, dan Allamah Thaba'thabi. Nama-nama mereka cukup familier di telinga umat Islam Indonesia.

Seperti tokoh-tokoh Iran lainnya, ketokohan dan intelektualitas Syari'ati semakin populer bagi masyarakat muslim Indonesia setelah Revolusi Iran meletus pada 1979. Apalagi setelah buku-buku karyanya, misalnya Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Islam Agama 'Protes', dan Haji diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Kini, sosok, latar belakang, aktivitas, dan pemikiran Syari'ati bisa dibaca dan ditelaah lebih dalam melalui buku karya Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner. Melalui buku itu Syaria'ti semakin mudah dipahami masyarakat Indonesia. Dalam buku itu Rahnema memaparkan sisi-sisi kehidupan Ali Syari'ti, mulai dari masa kecil, pendidikan, politik, hingga kematiannya dalam pengasingan pada umur 44 tahun, usia yang relatif muda.
Rahnema memotret perjalanan kehidupan dan aktivitas politik Syari'ati sebagai seorang pemikir religius dan aktivis revolusioner.

Inilah satu-satunya buku biografi Ali Syari'ati yang kini diterbitkan dalam edisi Indonesia dan ditulis dengan data lengkap, mendalam, dan mendetail. Rahnema tidak hanya menjelaskan liku-liku dramatis dan tragis perjalanan kehidupan Syari'ati, tetapi juga memaparkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Dengan objektivitas akademisnya, tapi tetap simpati dan hormat, guru besar dalam bidang ilmu ekonomi pada American University, Paris, ini berhasil merekam dan menawarkan pemahaman baru tentang sosok dan figur Syari'ati yang posisinya di dalam Revolusi Iran cukup penting dan diperhitungkan.

Buku biografi Ali Syari'ati ini melanjutkan dan memperkukuh tradisi penulisan riwayat hidup seseorang yang telah berlangsung selama 15 abad lebih. Tradisi penulisan biografi ini bisa dilacak pada masa-masa awal Islam yang biasa disebut sirah. Penulis biografi Nabi Muhammad SAW paling awal adalah Aban ibn Utsman ibn Affan (w. 105/723)--putra Khalifah Utsman ibn Affan yang lahir 10 tahun setelah Nabi wafat. Penulis pertama yang menggunakan istilah sirah atau biografi ialah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri yang merekonstruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan kerangka dalam bentuk yang jelas.

Biografi adalah sirah, sekaligus tuntunan, anutan, sejarah, dan masa lalu yang sangat layak dipelajari dan dikaji untuk kehidupan masa depan. Karena itu, sebuah buku biografi, termasuk buku biografi Ali Syari'ti ini bisa menjadi uswah hasanah bagi perilaku teladan kehidupan dan pemikiran seseorang dan masyarakat luas umumnya. Dengan demikian, biografi Syari'ati ini layak dijadikan sebagai sumber referensi untuk merumuskan masa depan pemikiran dan aktivitas politik umat Islam, termasuk pula bagi masyarakat Indonesia.

Biografi Syari'ati karya Rahnema ini tampaknya mengikuti gaya dan model penulisan biografi klasik yang biasanya menggunakan pendekatan kronologis--ditulis secara berurutan dan terinci sesuai dengan masa-masa terjadinya suatu kisah atau peristiwa kehidupan. Biografi semacam ini sering disebut sejarah kronologis atau sejarah 'urut kacang', dan banyak digunakan para penulis biografi. Inilah cara penulisan biografi yang paling sederhana, akurat, dan tidak terlalu rumit untuk menjelaskan dan memaparkan rincian-rincian dasar perikehidupan seseorang.
Karena kronologis, penulisan biografi klasik biasanya dimulai dengan penggambaran kehidupan seseorang dari prakelahiran, kelahiran, masa kanak-kanak, keluarga, perkawinan, pendidikan, aktivitas, pemikiran, pemberontakan, pemenjaraan, hingga masa-masa akhir hidupnya, seperti tampak jelas pada biografi Syari'ati yang ditulis Rahnema ini.

Buku yang terdiri atas 23 bab ini dimulai dengan pemaparan Rahnema tentang kondisi politik dan religius yang melatarbelakangi prakelahiran Syari'ati dan keluarganya, yang ditulisnya hingga tiga bab.

Dalam bab empat, Rahnema baru memaparkan tentang masa kecil dan masa dewasa yang dilalui Syari'ati. Seperti disebutkan Rahnema, pikiran dan ide-ide Syari'ati dibentuk oleh bacaan yang diperolehnya selama masa pendidikan (h. 69-73). Bacaan-bacaan Syari'ati cukup beragam, dan memengaruhi pola pikir dan ide. Daftar bacaannya berjalan melalui sebuah transformasi radikal pada saat dia mulai masuk ke sekolah dasar sampai ke sekolah menengah.
Di sekolah dasar, Syari'ati telah membaca berbagai jenis buku; karya Victor Hugo Les Miserables, Que sais-je, History of Cinema, dan buku populer yang best seller seperti Zan-e- Mast. Di tingkat sekolah menengah, Syari'ati mulai mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, mistik, dan sufisme. Dalam bidang filsafat, ia melahap karya-karya filosof Jerman, seperti Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole France. Ia memiliki kenangan pertama terhadap karya-karya Maurice Maeterlink. Ia mengacu kepada penulis dan penyair simbolik dari Belgia ini sebagai pemandu dalam merefleksikan dan memeditasikan kebenaran yang ada di balik realitas.

Adapun literatur sufi yang dibaca Syari'ati adalah karya sufi besar, seperti al-Hallaj, al-Junayd, Qadi Abu Yusuf, Syabastari, Qusyairi, Abu Said Abu al-Khayr, Abu Yazid al-Bustami, Ayn al-Qudat al-Hamadani, dan Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam masa-masa tersebut, seperti dijelaskan Rahnema, Syari'ati juga telah membaca buku-buku tafsir Alquran, sastra, puisi, sejarah Islam, dan tentu saja buku-buku politik.

Dalam bab-bab berikutnya, khususnya bab lima, Rahnema memaparkan keterlibatan Syari'ati dalam aktivitas politik. Syari'ati, jelas Rahnema, secara efektif memulai aktivitas politiknya ketika menjadi mahasiswa pada institut keguruan. Baru pada 1950, Syari'ati menjadi anggota aktif dalam sebuah partai politik. Namun, dasar-dasar kesadaran sosial politiknya telah ia tanam pada Pusat Penyebaran Kebenaran Islam ketika ia masih berusia 15 tahun. Dalam perkembangan berikutnya, Syari'ati dapat digolongkan sebagai seorang agitator dan pemimpin politik, dan tentu saja tidak mengesampingkan tulis-menulis sebagai kegiatan utamanya. Antara periode 1951-1955, Syari'ati secara produktif menulis artikel-artikel tentang sosial politik.
Dalam artikel-artikelnya, papar Rahnema, Syari'ati menyerukan penerapan konsep Islam tentang al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan mungkar) ke wilayah sosial politik. Konsep Islam ini merupakan sebuah tanggung jawab sosial yang diwajibkan atas semua orang. Di tangan para agamawan tradisional, konsep Islam ini hanya dipahami dalam batas-batas ibadah. Konsep ini sebenarnya bisa diimplikasikan dan dimanifestasikan ke dalam kehidupan kontemporer, yaitu untuk mencegah kemungkaran sosial politik. Misalnya, berjuang menentang imperialisme internasional, zionisme, kolonialisme dan neokolonialisme, kediktatoran, pertentangan kelas, rasisme, imperialisme kebudayaan, dan westernism.

Dengan pemahaman semacam itu, jelas Rahnema, Syari'ati sebenarnya 'mengumandangkan' bahwa 'mengajak' kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran bukan monopoli agamawan, tapi menjadi tanggung jawab sosial, dan dalam konteks wilayah sosial politik, tanggung jawab sosial itu menjadi kewajiban setiap muslim. Kewajiban itu tidak hanya berupa nasihat, tapi sebagai ajakan yang mengikat dan didukung oleh kekuatan. Kewajiban itu mustahil dilaksanakan tanpa memerangi ketidakadilan dan perilaku jahat (h.474-475).

Pandangan Syari'ati ini membuktikan bahwa ia benar-benar sosok politikus-intelektual-revolusioner pada zamannya, seperti tampak jelas dalam judul buku Rahnema ini. (Idris Thaha, dosen politik Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, serta peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

ORIFLAME UNIVERSITY

Blog Archive

ALAMAT IP KAMU

streetdirectory.co.id

Muthofar Hadi Sponsor Umroh/Haji

PT Armina Reka Perdana adalah salah satu agen perjalanan Haji/Umrah di Indonesia yang sudah berdiri sejak 1990. Ikuti jamaahnya dan dapatkan kuotanya, Bergabung Klik di sini.